Obesitas sering disalahartikan sebagai sekadar akibat “makan terlalu banyak dan malas bergerak”. Padahal, dalam dunia ilmu pengetahuan modern, obesitas adalah kondisi medis kompleks yang melibatkan interaksi antara otak, hormon, sistem imun, dan jaringan lemak itu sendiri. Yang lebih mencemaskan, tumpukan lemak berlebih dalam tubuh tidak hanya menyimpan kalori—juga menciptakan lingkungan biologis yang mendukung tumbuhnya sel kanker.
Obesitas: Jauh Lebih Kompleks dari Timbangan Berat Badan
Tubuh manusia punya sistem pengatur energi yang sangat canggih. Pusat kendalinya berada di hipotalamus, sebuah struktur kecil di otak yang bertugas menyeimbangkan kebutuhan energi melalui pembacaan sinyal hormon.
Beberapa hormon kunci yang terlibat:
- Ghrelin: “pengundang lapar” dari lambung.
- Leptin: dihasilkan jaringan lemak, memberi sinyal “sudah kenyang”.
- Insulin & (Peptide YY, PPY) : membantu menekan nafsu makan. PPY hormon yang diproduksi oleh usus, terutama di bagian ileum dan kolon, dan dilepaskan ke dalam darah setelah makan, terutama saat mengonsumsi makanan tinggi protein dan lemak. Pada individu dengan obesitas, kadar PYY setelah makan cenderung lebih rendah, yang berarti sinyal kenyang lebih lemah, sehingga mereka bisa makan lebih banyak sebelum merasa kenyang.
- Adiponektin: hormon “baik” dari lemak yang mendukung pembakaran energi dan sensitivitas insulin.
Namun dalam kondisi obesitas, terjadi kekacauan sistem:
- Leptin tinggi tapi tubuh jadi resisten leptin (tidak merespons sinyal kenyang).
- Kadar adiponektin menurun drastis, menyebabkan metabolisme lamban dan inflamasi meningkat.
Lemak Sebagai ‘Pemantik Api’ Peradangan Kronis
Yang membuat obesitas berbahaya bukan hanya penumpukan lemak itu sendiri, tetapi fungsi lemak yang berubah menjadi sumber peradangan kronis. Jaringan lemak pada orang obesitas menarik sel imun seperti makrofag (sel pemakan dan penghancur mikroorganisme), yang kemudian menghasilkan molekul proinflamasi seperti TNF-α (Tumor Necrosis Factor-alpha) dan IL-6 (Interleukin-6)
Zat-zat ini:
- Mengganggu regulasi normal pertumbuhan dan kematian sel.
- Mendorong pertumbuhan dan perkembangan (proliferasi) berlebihan dan menghambat apoptosis (kematian sel yang seharusnya terjadi secara alami).
- Menciptakan lingkungan biologis pro-kanker, terutama di jaringan yang aktif secara hormonal seperti payudara, kolon, dan endometrium.
Terlalu banyak insulin membuat tubuh seperti “mobil ngebut tanpa rem”, di mana sel-sel tumbuh dan membelah secara berlebihan, membuka jalan bagi munculnya kanker. Resistensi insulin adalah ciri khas obesitas. Pada individu dengan obesitas, terjadi fenomena yang disebut resistensi insulin, bukan hanya di jaringan perifer (seperti otot dan hati) tetapi juga di otak. Akibatnya, walaupun kadar insulin dalam darah sudah tinggi (hiperinsulinemia), efek insulin dalam menekan nafsu makan menjadi tumpul atau tidak efektif. Dengan kata lain, otak “tidak membaca” sinyal kenyang dengan benar, yang akhirnya berkontribusi terhadap peningkatan asupan makanan (hiperfagia) dan memperburuk obesitas.
Untuk mengimbanginya, pankreas memproduksi lebih banyak insulin. Akibatnya, kadar insulin dan IGF-1 (Insulin-like Growth Factor 1), hormon pertumbuhan alami tubuh yang mirip insulin melonjak. Apa bahayanya?
- Kedua hormon ini merangsang pembelahan sel yang cepat.
- Mencegah kematian sel abnormal.
- Memberi sinyal yang mirip dengan bahan bakar untuk pertumbuhan tumor.
Beberapa jenis kanker yang telah terbukti secara ilmiah memiliki kaitan erat dengan obesitas antara lain kanker payudara (pada wanita pascamenopause), kanker usus besar, dan kanker endometrium (rahim).
“Obesitas bukan hanya meningkatkan risiko kanker, tetapi juga memperburuk prognosis pasien kanker.” (International Agency for Research on Cancer, 2016)
Studi Molekuler yang mendukung
Banyak studi kini mengungkap peta molekuler yang menjelaskan hubungan antara obesitas dan kanker. Misalnya:
- Aktivasi jalur sinyal mTOR dan PI3K/Akt akibat insulin berlebih yang akan mempercepat pembelahan sel. Di dalam tubuh kita, sel-sel memiliki “mesin pengatur” yang memberi tahu kapan mereka harus tumbuh, membelah diri, atau berhenti berkembang. Salah satu “mesin pengatur” itu adalah jalur mTOR dan PI3K/Akt. Bayangkan jalur ini seperti “tombol gas” untuk pertumbuhan dan pembelahan sel. Normalnya, tombol ini ditekan hanya saat tubuh butuh perbaikan jaringan atau pertumbuhan. Namun pada obesitas, karena terlalu banyak insulin (hormon yang biasanya mengatur gula darah), tombol gas ini ditekan terus-menerus.
- Penurunan fungsi sel imun T akibat peradangan kronis dapat melemahkan pertahanan tubuh terhadap sel-sel abnormal. Di dalam tubuh, sel imun T (terutama T killer atau CTL – cytotoxic T lymphocytes) adalah “pasukan elit” yang bertugas:
- Mendeteksi sel-sel abnormal (termasuk sel kanker),
- Membunuh sel-sel tersebut sebelum berkembang menjadi penyakit serius. Normalnya, sistem ini sangat efektif menjaga tubuh tetap sehat.
Pada kondisi obesitas atau peradangan kronis (misal akibat jaringan lemak berlebih), tubuh terus menerus menghasilkan zat-zat peradangan seperti: TNF-α (Tumor Necrosis Factor-alpha), IL-6 (Interleukin-6), dan CRP (C-reactive protein). Zat-zat ini menyebabkan lingkungan tubuh menjadi selalu “panas” (dalam arti imunologis).
- Akibat lingkungan yang penuh peradangan:
- Sel T menjadi lelah (dalam istilah medis disebut T cell exhaustion),
- Respon sel T terhadap sel abnormal menjadi lemah,
- Sel T juga bisa kehilangan kemampuan mengenali musuh (sel kanker) karena terganggunya ekspresi reseptor penting seperti PD-1 (Programmed Cell Death Protein 1) dan CTLA-4 (Cytotoxic T-Lymphocyte Antigen 4) merupakan “rem” alami yang dimiliki oleh sel T, yaitu sel-sel sistem kekebalan tubuh yang bertugas menyerang musuh seperti virus, bakteri, dan sel kanker.
Akibat sel T yang kelelahan dan kurang aktif, sel-sel abnormal yang seharusnya dihancurkan malah dibiarkan tumbuh. Hasil akhirnya adalah pertahanan tubuh melemah, dan kanker lebih mudah berkembang tanpa hambatan. Singkatnya, peradangan kronis membuat “tentara penjaga tubuh” kelelahan, lengah, dan akhirnya membiarkan musuh (sel kanker) berkembang dengan bebas.
- Disbiosis usus akibat pola makan tinggi lemak dapat memicu karsinogenesis pada usus besar. Disbiosis berarti ketidakseimbangan jumlah dan jenis bakteri di dalam usus.Dalam keadaan normal, usus kita dihuni triliunan bakteri baik yang:
- Membantu mencerna makanan,
- Melindungi usus dari kuman berbahaya,
- Menghasilkan zat anti-peradangan yang menjaga kesehatan usus.
Namun, pola makan tinggi lemak—terutama lemak jenuh (seperti dari gorengan, daging berlemak, makanan cepat saji)—mengganggu keseimbangan ini.
”Lemak bukan sekadar tumpukan — ia bisa menjadi ladang subur tempat kanker bertumbuh.”
Obesitas bukan sekadar soal penampilan, melainkan gangguan metabolik dan peradangan kronis yang membentuk “lahan subur” bagi sel kanker tumbuh. Inilah alasan mengapa mencegah obesitas adalah pertahanan pertama tubuh melawan kanker. Edukasi gizi yang tepat, pola makan seimbang, aktivitas fisik teratur, serta pengelolaan stres bukan hanya menjaga berat badan, tapi juga menjaga sistem biologis tetap selaras dan tangguh. Tubuh yang sehat bukan yang sekadar bebas dari penyakit, tetapi yang mampu menjaga keseimbangannya dalam jangka panjang—dan di situlah akar perlindungan terhadap kanker.