Dokter Peneliti

Dunia kini bergerak cepat melalui teknologi. Sektor kesehatan idealnya juga terus berinovasi. Kita membutuhkan lebih dari sekadar tenaga medis yang terampil. Kita memerlukan arsitek ilmu pengetahuan yang mampu menjembatani antara praktik klinis dan riset. Mereka adalah dokter peneliti. Sosok ini tidak hanya mengobati hari ini, tetapi juga merancang solusi futuristik.

Namun di Indonesia, dokter peneliti masih sering diposisikan sebagai figuran. Peran strategis mereka dalam sistem kesehatan belum sepenuhnya diakui dan difasilitasi. Padahal, jika kita berbicara tentang transformasi kesehatan, ketahanan nasional, hingga visi Indonesia Emas 2045, maka peran dokter peneliti amat fundamental.

Siapa Itu Dokter Peneliti?

Dokter peneliti adalah dokter yang berperan ganda; merawat pasien sekaligus melakukan penelitian ilmiah. Mereka bekerja di rumah sakit pendidikan, universitas, institusi, hingga lembaga riset. Misalnya, seorang onkolog yang tak hanya menangani pasien kanker tetapi juga mengembangkan imunoterapi di laboratorium dan mengujinya dalam uji klinis.

Mereka adalah jembatan antara sains dan pelayanan medis. Di tangan mereka, ilmu pengetahuan hidup, berkembang, dan berdampak langsung ke masyarakat. Di era kedokteran presisi, big data, dan genomik, peran dokter peneliti menjadi semakin vital.

Tantangan Budaya Akademik

Sayangnya, budaya meneliti belum menjadi napas utama di banyak institusi pendidikan kedokteran di Indonesia. Riset sering kali diperlakukan sebagai syarat administratif untuk kenaikan jabatan. Banyak dosen dan dokter terjebak dalam beban pelayanan dan birokrasi yang melelahkan.

Beberapa akar persoalannya antara lain: masih minimnya insentif dan penghargaan terhadap hasil riset, infrastruktur laboratorium dan dana penelitian yang terbatas, belum adanya sistem mentoring yang solid, belum terintegrasinya riset dalam sistem pelayanan.

Semua ini membuat riset seolah menjadi beban, bukan panggilan intelektual. Padahal, penelitian adalah denyut jantung dari universitas riset dan bangsa inovatif.

Solusi Sistemik: Menjadikan Riset sebagai DNA

Perlu langkah konkret agar riset tidak lagi menjadi kegiatan pinggiran. Pertama, integrasikan riset ke dalam praktik klinis sehari-hari. Kedua, reformasi insentif. Dokter peneliti haruslah dihargai atas mutu, bukan kuantitas publikasi. Ketiga, hadirkan pelatihan metodologi riset sejak pendidikan kedokteran dasar. Yang terakhir, namun tak kalah penting. Pemimpin akademik harus menjadi fasilitator peer group aktif.

Reformasi ini butuh komitmen institusi. Universitas harus bertransformasi menjadi research university, bukan sekadar tempat mencetak ijazah. Konsep entrepreneurial university dan innovative university perlu segera dihidupkan melalui: roadmap riset jangka panjang, ekosistem inovasi dan inkubasi startup, kolaborasi global, tata kelola riset yang andal.

Fakultas kedokteran futuristik bukan hanya hanya menghasilkan dokter, melainkan juga teknologi deteksi dini kanker berbasis AI, yang dikomersialisasi melalui spin-off startup, dan memberi dampak ekonomi serta sosial.

Honor Peneliti: Pengakuan Bukan Sekadar Uang

Ironisnya, meski dituntut produktif meneliti, honor peneliti belum diatur dalam Standar Biaya Keluaran (SBK) nasional. Banyak dokter peneliti bekerja tanpa kompensasi memadai. Padahal, ini bukan sekadar soal gaji—ini adalah pengakuan terhadap kerja intelektual yang strategis. Solusinya bisa diupayakan. Pemerintah melalui BRIN, Kemenkes, dan Kemendikbudristek harus mengatur honor peneliti secara resmi dan segera disosialisasikan. Universitas perlu membuat kebijakan insentif internal berbasis output riset. Peneliti harus dilibatkan dalam hibah dengan komponen honor yang jelas

Jalur Karier Tetap: Hentikan Kontrak Proyek

Lebih jauh, banyak dokter peneliti atau dosen peneliti hanya dipekerjakan dengan sistem kontrak jangka pendek. Ini kontraproduktif terhadap Tridharma Perguruan Tinggi. Kita perlu mencontoh model luar negeri seperti NIH (Amerika Serikat), SingHealth (Singapura), atau Karolinska Institutet (Swedia), yang memiliki jalur karier peneliti klinis tetap.

Dokter peneliti harus diakui sebagai bagian dari struktur akademik permanen. Perannya tidak kalah penting dari dosen pengajar atau dokter klinisi. Dengan struktur yang berkelanjutan, mereka bisa menjalankan riset jangka panjang yang berdampak besar.

SKP Peneliti: Fleksibel dan Relevan

Sistem Satuan Kredit Profesi (SKP) juga perlu direformasi. Saat ini, sistem SKP dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) masih sangat klinis-sentris. Padahal, kegiatan riset—seperti publikasi, presentasi ilmiah, menjadi reviewer jurnal, hingga pembimbingan tesis—juga memiliki nilai profesional tinggi.

IDI perlu membuat jalur SKP khusus untuk peneliti, seperti halnya yang telah tersedia untuk dokter militer atau manajemen rumah sakit. Selain itu, sistem digital SKP bisa diintegrasikan dengan rekam jejak penelitian, agar publikasi dan presentasi ilmiah otomatis dikonversi menjadi SKP.

Menuju Indonesia Emas 2045

Visi Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai tanpa ekosistem riset yang kuat. Di bidang kesehatan, peran strategis ini diemban oleh dokter peneliti. Mereka adalah motor inovasi medis, pionir solusi preventif, dan garda depan dalam mewujudkan ketahanan kesehatan nasional.

Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh tantangan global, peran dokter peneliti tidak bisa lagi dianggap sekunder. Sudah waktunya kita berhenti memperlakukan mereka sebagai pelengkap. Dokter peneliti adalah pilar. Pilar ilmu. Pilar masa depan.

Kini saatnya pemerintah, universitas, asosiasi profesi, dan masyarakat luas memberikan tempat yang layak bagi mereka. Bukan hanya ruang di laboratorium, tetapi juga ruang dalam kebijakan, dalam penghargaan, dan dalam struktur sistem kesehatan kita.

Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi? (Opini ini ditulis oleh Dokter Dito Anurogo, MSc., Ph.D., alumnus PhD dari IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen FKIK Unismuh Makassar, peneliti di Institut Molekul Indonesia, berdasarkan Monolog Adaptif di Instagram Live bertajuk “Dokter Peneliti: Apa Kabar SKP?” bersama DR. Dokter Niko Azhari Hidayat, Sp.BTKV, SubspVE(K), FIATCVS, dosen di Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga, pada hari Jumat tanggal 30 Mei 2025. Kedua dokter tersebut telah berhasil menerbitkan buku dalam bahasa Inggris: “Digital Health Made Easy” dan “The Art of Televasculobiomedicine 5.0”.)

2 thoughts on “Dokter Peneliti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *