
Di Nusa Tenggara Timur, isu stunting, anemia, dan kekurangan energi kronis (KEK) bukan hanya tentang statistik — ini adalah kondisi nyata tentang generasi yang terancam kehilangan masa depannya karena gizi yang tidak mencukupi. Namun di tengah keterbatasan itu, ada harapan yang tumbuh di halaman rumah kita sendiri. Tanaman kecil bernama kelor (Moringa oleifera) telah lama hadir, namun baru belakangan ini kembali diangkat oleh sains sebagai salah satu solusi gizi paling menjanjikan.
Penelitian demi penelitian menunjukkan bahwa kelor bukan sekadar daun biasa. Ia adalah superfood yang mengandung protein, zat besi, vitamin A dan C, kalsium, serta senyawa antioksidan penting seperti flavonoid dan polifenol. Dalam 100 gram daun kelor segar, kandungan nutrisinya bahkan mampu melampaui sayuran hijau pada umumnya. Lebih luar biasa lagi, jika dikeringkan, semua kandungan itu menjadi lebih pekat dan padat gizi.
Apa yang membuat kelor begitu relevan bagi NTT? Jawabannya terletak pada kemampuannya untuk menjawab masalah gizi di semua siklus kehidupan — terutama pada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak.
Penelitian oleh Fuglie (2007) menunjukkan bahwa terapi tepung daun kelor dapat meningkatkan status gizi masyarakat di Senegal. Temuan ini sejalan dengan studi di Indonesia. Chukwuebuka (2015), Sulistiawati (2017), dan Zakaria (2015) menemukan bahwa daun kelor mampu meningkatkan produksi ASI. Lebih lanjut, Nurdin (2017) membuktikan bahwa konsumsi tepung daun kelor selama trimester ketiga kehamilan berdampak pada peningkatan berat badan bayi baru lahir — indikator penting untuk mencegah bayi lahir dengan berat rendah.
Tidak hanya berhenti di situ. Septadina et al. (2018) dan Zakaria (2015) mengungkapkan bahwa konsumsi kelor dapat meningkatkan kadar hormon menyusui, yang berdampak pada peningkatan kuantitas dan kualitas ASI. Studi Nadimin (2015) bahkan mencatat bahwa kelor dapat meningkatkan kadar hemoglobin, mencegah penurunan kadar antioksidan total, mengurangi kerusakan DNA, serta menekan peningkatan peroksidasi lemak pada ibu hamil. Ini berarti kelor bekerja tidak hanya sebagai sumber gizi, tetapi juga sebagai pelindung biologis di masa kehamilan.
Di sisi lain, Zakaria (2015) juga melaporkan bahwa ekstrak daun kelor mampu menurunkan status anemia pada ibu menyusui. Ini penting, karena anemia pascamelahirkan sering kali luput dari perhatian, padahal dampaknya bisa sangat besar terhadap pemulihan ibu dan keberlangsungan pemberian ASI.
Dengan semua bukti ilmiah ini, pemanfaatan kelor dalam program gizi masyarakat seharusnya tidak lagi menjadi wacana pinggiran. Kelor bisa dan harus diolah menjadi berbagai produk inovatif yang ramah konsumsi dan disukai masyarakat. Ia bisa menjadi bubur bayi yang bergizi, mie sehat untuk anak sekolah, lauk tambahan untuk ibu hamil, atau teh hangat penambah energi untuk ibu menyusui. Di tangan yang tepat, kelor juga bisa menjadi produk unggulan desa — dalam bentuk kapsul, bubuk, sabun herbal, bahkan kosmetik alami.
Yang kita butuhkan saat ini bukan lagi sekadar bukti ilmiah, melainkan kemauan nyata. Kemauan untuk mengangkat kelor dari sekadar tanaman yang sering terabaikan menjadi pangan strategis nasional. Kemauan untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap potensi sumber daya lokal. Serta kemauan untuk menjadikan kelor sebagai lambang kemandirian gizi dan pilar kekuatan ketahanan pangan berbasis kearifan lokal.
Saya meyakini bahwa solusi atas permasalahan gizi bangsa ini tidak harus dicari di tempat yang jauh. Jawabannya telah tumbuh di sekitar kita, menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Kelor bukan sekadar dedaunan hijau—ia adalah penopang kehidupan, sumber gizi alami yang membuka jalan menuju terwujudnya generasi yang lebih sehat, kuat, dan cerdas.
Dengan mengedepankan pola makan berbasis gizi seimbang yang mengutamakan pangan lokal seperti kelor, serta dipadukan dengan sumber protein hewani yang terjangkau dan berkualitas, kita dapat membangun fondasi ketahanan gizi nasional yang berkelanjutan.
Mari tanam kelor, makan kelor, dan wariskan kelor. Karena dari pekarangan kita sendiri, bisa tumbuh masa depan gizi yang lebih baik
Selamat Hari Anak Nasional 2025
“Anak Hebat, Indonesia Kuat — dimulai dari tubuh yang sehat dan gizi yang cukup. Mari jadikan kelor sebagai simbol kedaulatan pangan lokal, agar setiap anak NTT tumbuh cerdas, kuat, dan siap menyongsong masa depan bangsa. Kita hentikan perkawinan anak, kita lindungi masa depan mereka — karena anak sehat hari ini adalah pemimpin Indonesia Emas 2045 esok hari.”