Sejak kecil, setiap orang tua punya cara sederhana untuk melatih anaknya: menulis. Begitu pula saya. Hampir setiap hari saya diminta menuangkan sesuatu ke atas kertas—entah pengalaman harian, ringkasan bacaan, atau sekadar berlatih menulis indah dengan tangan. Jujur saja, awalnya itu terasa berat. Ada rasa malas, ada pula ketakutan akan kesalahan. Namun justru dari kebiasaan kecil itulah saya belajar merangkai kata, menyusun kalimat, dan menata pikiran dengan lebih teratur.
Masih teringat jelas saat pertama kali memenangkan lomba menulis di bangku SMP. Rasanya campur aduk: bahagia, bangga, sekaligus tidak percaya. Dari pengalaman itu saya memahami bahwa menulis bukan lagi sekadar kewajiban yang dulu kerap diminta orang tua, melainkan medium ekspresi diri yang paling autentik. Perlahan-lahan, menulis berkembang dari rutinitas sederhana menjadi hobi, lalu bertransformasi menjadi bagian dari identitas saya yang terus menyertai perjalanan hidup hingga kini.
Ketika memasuki dunia profesi sebagai dokter, dosen, dan peneliti, saya semakin menyadari bahwa menulis bukan sekadar keterampilan, melainkan sebuah kekuatan. Melalui tulisan, pengetahuan dan pengalaman berubah menjadi jejak yang tak lekang oleh waktu. Menulis tidak hanya menyimpan pikiran, tetapi juga menghadirkan manfaat bagi orang lain, melampaui ruang dan generasi. Ilmu yang tidak pernah ditulis akan mudah menguap, tetapi tulisan menjadikannya abadi—bahkan tetap hidup ketika penulisnya telah tiada.
Pramoedya Ananta Toer pernah berujar, “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Kata-kata itu menancap dalam hati saya. Menulis adalah jejak, sekaligus jembatan. Melalui tulisan, kita berbagi perjalanan, pelajaran, bahkan perjuangan.
Jika ingin memulai, jangan menunggu datangnya inspirasi besar. Mulailah dari hal-hal sederhana, lakukan dengan konsisten. Sisihkan waktu setiap hari, meski hanya sepuluh atau lima belas menit. Niatkan menulis bukan untuk menghasilkan karya sempurna seketika, melainkan untuk melatih pikiran dan melahirkan gagasan. Mulailah dari catatan harian, refleksi setelah membaca buku, atau sekadar menuliskan perasaan yang hadir begitu saja.
Menulis: Senam Otak yang Menghidupkan Pikiran
Menulis bukan hanya aktivitas kognitif, tetapi juga fisiologis. Otak bekerja seperti orkestra: korteks prefrontal menyusun rencana, hippocampus memanggil memori, area Broca menerjemahkan ide menjadi bahasa, lalu korteks motorik dan cerebellum mengeksekusinya menjadi gerakan tangan atau jari. Saat menulis, otak melepaskan dopamin yang menimbulkan rasa puas, sementara serotonin dan GABA menenangkan emosi. Bila dilakukan berulang, terbentuklah neuroplastisitas—jalur saraf baru yang semakin menguat, membuat pikiran lebih jernih, ide lebih teratur, dan ekspresi lebih lancar. Tak berlebihan bila menulis disebut olahraga bagi otak.
Saat kita menulis, otak kiri bekerja mengatur struktur bahasa, memilih kata yang tepat, menyusun kalimat secara runtut, hingga membangun alur yang logis. Berbeda dengan otak kanan yang lebih dominan pada kreativitas, imajinasi, dan perasaan, menulis menuntut ketelitian dan keteraturan yang khas dari otak kiri. Dengan kata lain, setiap kali kita menuliskan ide, sebenarnya kita sedang melatih kemampuan berpikir terstruktur, memperkuat daya logika, serta menajamkan analisis. Oleh karena itu, menulis tidak hanya menghasilkan karya, tetapi juga melatih “mesin rasional” dalam diri kita. Semakin konsisten seseorang menulis, semakin terlatih pula otak kirinya dalam menata pikiran, menyelesaikan masalah, dan mengambil keputusan secara sistematis.
Tentu, jalan menulis tidak selalu mulus. Gagasan yang hanya disimpan di benak tidak akan pernah bernilai; ia harus dituangkan agar hidup dan berkembang. Draf pertama boleh berantakan, tetapi dari kekacauan itulah lahir tulisan matang. Menulis adalah perjalanan panjang yang menuntut keberanian untuk memulai dan konsistensi untuk memperbaiki.
Jangan biarkan tulisan berhenti di laci atau terkunci dalam folder laptop. Tunjukkan kepada teman atau mentor, biarkan mereka memberi masukan. Ikuti lomba menulis untuk melatih keberanian. Sebarkan melalui blog, media sosial, atau kumpulkan menjadi buku. Dengan begitu, tulisan kita tidak hanya menjadi catatan pribadi, tetapi juga menjangkau orang lain, mungkin bahkan mengubah hidup seseorang.
Dan yang terpenting: jangan pernah menyerah. Menulis tumbuh perlahan, mengakar lewat kebiasaan, dan matang seiring waktu. Setiap kalimat yang kita torehkan hari ini adalah pondasi bagi karya yang lebih baik esok hari. Suatu saat nanti, ketika menoleh ke belakang, kita akan terkejut dan tersenyum bangga melihat betapa jauh perjalanan yang sudah ditempuh—semua berawal dari keberanian sederhana untuk menulis.
Kini, di era digital, menulis bukan hanya sarana ekspresi, tetapi juga pintu rezeki. Tulisan dapat menjelma menjadi artikel yang dibaca jutaan orang, buku yang menginspirasi generasi, konten digital yang menyebar luas, hingga bahan ajar yang menuntun ilmu. Menulis membuka ruang kolaborasi, menghadirkan peluang penghasilan, sekaligus memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Semakin tulus kata-kata kita lahir, semakin luas pula jejak yang ditinggalkan.
Menulis bukan sekadar hobi; menulis adalah napas yang memberi hidup pada makna, jembatan yang menyalurkan manfaat bagi sesama, dan jejak abadi yang tetap berbicara meski kita telah tiada. Setiap kata yang Anda torehkan hari ini bisa menjadi cahaya bagi orang lain, pengingat bagi diri sendiri, dan warisan yang tak lekang oleh waktu.
“Temukan wadah untuk berkolaborasi dan menyimpan semua tulisan Anda—salah satunya melalui Yapscholn.”
Keren dan sangat menginspirasi