Foto. Pelatihan SPPG Japawira Petanahan dan SPPG Ceria, Gombong, Kebumen Jawa Tengah
Petanahan, Kebumen – Di lingkungan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Petanahan, Kebumen yang kental dengan nuansa tradisional Jawa—hangat, bersahaja, dan penuh rasa kekeluargaan—tertanam kuat nilai gotong royong dan ketulusan dalam setiap langkah pelayanan. Di sanalah semangat melayani tumbuh, bukan sekadar sebagai tugas, tetapi sebagai wujud cinta; menjaga kesehatan sesama dengan sepenuh hati, dan selalu siap siaga dalam menghadapi setiap keadaan.
Pada hari Kamis, 12 Juni 2025, SPPG Makan Bergizi Gratis (MBG) Petanahan menjadi saksi nyata semangat pelayanan yang tumbuh dari dapur—melalui kegiatan Pelatihan Penjamah Makanan dan Penggunaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR).
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Yayasan Japawira Sejahtera Bersama (JSB) yang menaungi SPPG Ceria dan SPPG Petanahan, sebagai bentuk komitmen terhadap pelayanan gizi yang aman dan profesional. Pelatihan ini merupakan hasil kolaborasi dengan Dinas Kesehatan dan PPKB Kabupaten Kebumen, Puskesmas Petanahan dan Puskesmas Gombong II, serta mendapat dukungan dari mitra yayasan JSB, yang hadir secara daring, dari PT Yapindo Jaya Abadi dan Gizi Nusantara.
Foto. Acara diikuti secara daring bersama mitra Yayasan Japawira Sejahtera Bersama
Langkah Awal Menuju Pelayanan yang Menginspirasi
Acara dibuka oleh Perwakilan dari Yayasan JSB, Ibu Agung, yang dalam sambutannya menyampaikan pesan : “Pelayanan sejati bukan hanya memberi makan, tapi memastikan setiap makanan itu aman, bersih, dan membawa keberkahan bagi yang menerima.”
Kehadiran para mitra strategis semakin menguatkan pesan bahwa pelayanan gizi yang optimal harus didukung oleh akses terhadap layanan prima dalam pengelolaan dapur komunitas. Artinya, setiap dapur tidak hanya mampu menyajikan makanan bergizi, tetapi juga dikelola dengan standar keamanan, efisiensi, dan kepedulian yang tinggi—melalui kolaborasi lintas sektor yang sejalan dalam visi dan nilai pelayanan.
Pada sesi pertama, materi tentang keamanan pangan disampaikan dengan penuh semangat dan kedalaman oleh narasumber. Melalui pendekatan yang hangat namun tetap tegas, para peserta diajak memahami bahwa dapur bukan sekadar ruang memasak, melainkan tempat awal terbentuknya kesehatan masyarakat. Setiap individu yang terlibat dalam pengolahan makanan berperan sebagai penjaga garis depan kesehatan, yang tanggung jawabnya tidak kalah mulia dari tenaga kesehatan; karena dari dapur yang bersih dan aman, kesehatan keluarga dan komunitas dapat dijaga dan dilindungi.
Materi pelatihan mencakup aspek-aspek mendasar namun sangat penting, seperti cara mencuci tangan yang benar sesuai standar WHO untuk mencegah perpindahan kuman ke makanan yang disajikan. Selain itu, peserta juga dibekali dengan teknik penyiapan nasi dan lauk pauk yang aman agar tidak menjadi tempat berkembang biaknya bakteri. Selain itu, juga dibahas upaya pencegahan kontaminasi silang antara bahan mentah dan matang yang sering kali menjadi sumber keracunan makanan.
Peserta juga diajak menyadari bahwa waktu penyajian dan proses pemanasan ulang makanan merupakan aspekpenting yang tidak boleh disepelekan. Pemanasan yang terlalu singkat atau penyajian yang terlalu lama pada suhu ruang dapat menjadi celah masuknya mikroorganisme patogen yang membahayakan kesehatan.
Untuk mendekatkan materi pada realitas sehari-hari, pelatihan ini diperkaya dengan kisah-kisah nyata yang menggugah kesadaran peserta. Salah satunya adalah insiden keracunan makanan di sebuah pesantren, yang terjadi akibat penyimpanan nasi dalam suhu tidak aman. Kasus lainnya datang dari sebuah pesta ulang tahun anak yang berakhir tragis karena menyajikan makanan sisa yang sudah tidak layak konsumsi.
Pelatihan ini menyampaikan satu pesan penting yang layak menjadi refleksi bersama: satu kelalaian kecil di dapur dapat membawa konsekuensi besar bagi banyak orang. Karena itu, setiap tahapan dalam proses pengolahan makanan harus dilakukan dengan ketelitian, pengetahuan yang memadai, dan empati yang mendalam.
Bukan sekadar tugas harian atau rutinitas teknis, melainkan sebuah amanah—tanggung jawab sosial dan moral yang menyatu dalam setiap bentuk pelayanan, terlebih ketika yang dipertaruhkan adalah kesehatan dan keselamatan sesama manusia.
APAR: Simbol Dapur yang Siap Siaga
Pada sesi kedua, pelatihan bergeser dari isu pangan ke aspek keselamatan kerja di dapur, yaitu pengenalan dan penggunaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR). Dapur, dengan segala peralatan masak berbasis gas dan listrik, adalah salah satu area yang paling rawan terhadap kebakaran. Karena itu, para penjamah makanan perlu dibekali bukan hanya keterampilan memasak, tetapi juga kesiapsiagaan menghadapi situasi darurat.
Foto: Pelatihan APPAR
Dalam pelatihan ini, peserta diajak mengenali berbagai jenis APAR serta memahami klasifikasi api berdasarkan sumbernya—karena tidak semua jenis api bisa dipadamkan dengan cara yang sama. Mereka juga dilatih menggunakan APAR dengan metode yang sederhana namun efektif: PASS, yaitu Pull (tarik pin), Aim (arahkan ke sumber api), Squeeze (tekan tuas), dan Sweep (gerakkan ke samping secara menyapu).
Lebih dari sekadar memahami prosedur teknis, para peserta juga dibimbing untuk menentukan penempatan APAR secara strategis di area dapur, sehingga alat dapat dijangkau dengan cepat dan efektif saat terjadi kondisi darurat. Selain itu, ditekankan pula pentingnya melakukan inspeksi rutin terhadap fungsi, tekanan, dan tanggal kadaluwarsa APAR, sebagai bagian dari sistem manajemen risiko yang menyeluruh di lingkungan kerja pangan.
Pelatihan ini membentuk kesadaran baru bahwa pelayanan gizi yang optimal tidak hanya mengedepankan nilai zat gizi, tetapi juga aspek keselamatan kerja. Dapur bukan sekadar tempat mengolah makanan, melainkan ruang di mana risiko fisik harus diantisipasi secara profesional. Karena sejatinya, melindungi konsumen dimulai dari upaya nyata dalam melindungi para penjamah makanan itu sendiri.
Dapur MBG: Tempat Diolahnya Kepedulian, Disajikan dengan Ketulusan
Foto. Pengecekan aliran gas CNG (Compressed Natural Gas) oleh tim Damkar
Lebih dari sekadar pelatihan, hari Kamis ini menjadi titik tumbuh semangat baru—sebuah kesadaran kolektif akan pentingnya peran penjamah makanan dalam menjaga kesehatan dan keselamatan konsumen. Bukan semata soal rasa, namun juga soal tanggung jawab.
Selama delapan jam penuh, peserta pelatihan diajak memahami bahwa setiap sajian makanan yang keluar dari Dapur MBG harus melalui proses yang bersih, disiapkan dengan tanggung jawab, dan disajikan dengan kepedulian. Tidak hanya itu, setiap hidangan juga harus memenuhi prinsip gizi seimbang, beragam, serta mengangkat kekayaan pangan lokal sebagai identitas cita rasa.
“Setiap sajian makanan yang keluar dari dapur ini harus dijaga sebersih mungkin, disiapkan dengan tanggung jawab, dan disajikan dengan kepedulian—serta tentunya bergizi seimbang, beragam, dan menggali kekayaan pangan lokal yang kita miliki,” tutup Ibu Agung penuh semangat.
Pelatihan ini ditutup secara resmi oleh Sekretaris Yayasan JSB, Bapak Wahyu Hendy, S.Kom, sebagai bentuk apresiasi atas komitmen bersama dalam menjadikan dapur sebagai pusat kepedulian dan edukasi.
Langkah Kecil, Dampak Besar
JSB percaya, semangat yang tumbuh di Petanahan akan menjalar ke seluruh penjuru negeri.
Dapur komunitas bukan sekadar tempat memasak, melainkan juga ruang pembelajaran yang sarat makna. Di sinilah nilai-nilai luhur ditanam: tanggung jawab sosial, integritas dalam setiap langkah, serta pelayanan yang berakar pada karakter dan kepedulian.
Setiap bahan yang diolah bukan hanya zat gizi, tapi juga wujud cinta dan dedikasi. Setiap hidangan yang disajikan menjadi pesan nyata: bahwa perubahan besar bisa dimulai dari dapur sederhana.