“Rasa Manis, Masa Depan Pahit”

Bayangkan ini: seorang balita berusia tiga tahun. Tangan kecilnya menggenggam botol plastik berwarna merah muda cerah, dihiasi karakter kartun yang tersenyum lebar. Isinya? Minuman rasa stroberi yang wangi dan manis—sangat manis. Ia meneguknya penuh semangat, matanya berbinar, lalu tertawa dan berlari kecil. Sebuah adegan yang terasa polos, lucu, bahkan indah.

Tapi keindahan itu menipu.

Di balik setiap tegukan manis itu, sesuatu sedang terjadi dalam tubuhnya—tak terlihat, tak terasa. Hormon insulin mulai bekerja lebih keras dari seharusnya. Sel-sel lemak mulai tumbuh lebih cepat dari yang dibutuhkan. Sistem metaboliknya perlahan kewalahan. Tidak ada alarm yang berbunyi. Tidak ada rasa sakit. Namun diam-diam, bom waktu sedang disiapkan di dalam tubuh kecil itu—yang suatu hari bisa meledak menjadi obesitas, diabetes, atau gangguan jantung bahkan sebelum ia belajar mengeja kata “gula”.

Yang lebih tragis: anak ini tak pernah memilih.

Indonesia kini menghadapi sebuah epidemi yang diam-diam namun nyata.Data terbaru dari Atmarita (2024) menunjukkan bahwa 27,2% balita usia 4–5 tahun mengalami kelebihan berat badan. Ini bukan lagi sekadar “kegemukan yang lucu.” Ini adalah cerminan dari sistem yang sedang membentuk masa depan mereka — masa depan yang berpotensi lebih pendek dan lebih rentan terhadap penyakit dibandingkan generasi sebelumnya.

Dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh  AIPI bekerja sama dengan IGI  dan Program Studi Magister Ilmu Gizi, Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada 8 Juli 2025, Prof. Barry Popkin, Guru Besar Terhormat dalam Bidang Gizi di UNC Gillings School of Global Public Health, menyampaikan secara tegas: “Kita sedang gagal melindungi anak-anak dari sistem pangan yang eksploitatif.” Beliau menyebutkan bahwa negara-negara seperti Chile, Meksiko, dan Afrika Selatan telah membuktikan bahwa kebijakan berani seperti pajak gula, pelabelan gizi, dan pembatasan iklan bisa menurunkan konsumsi dan mengubah perilaku secara sistemik. Mereka tidak menunggu pasar berubah—mereka mengubah pasarnya.

Sementara itu di Indonesia, minuman berpemanis (Sugar-Sweetened Beverages,SSB) dan makanan ultra-proses tumbuh bebas, diiklankan ke anak-anak, dan dijual lebih murah dari air mineral. Anak-anak kita dibesarkan dalam lingkungan di mana gula lebih mudah diakses daripada sayur, dan iklan lebih dipercaya daripada label gizi.

Kita lupa bahwa tubuh manusia adalah produk evolusi ribuan tahun. Ia diciptakan untuk bertahan di era kelaparan, bukan di era kelebihan kalori. Maka ketika anak-anak dicekoki minuman manis sejak usia batita—sebagaimana ditemukan dalam studi Ratu Ayu D. Sartika dkk. (2022) Consumption of Sugar-Sweetened Beverages and Its Potential Health Implications in Indonesia —mereka tidak punya mekanisme alami untuk menolak. Tubuh mereka hanya tahu satu hal: simpan, simpan, simpan.

Tubuh manusia berevolusi selama lebih dari 100.000 tahun untuk bertahan hidup di alam—dengan makanan terbatas, aktivitas fisik tinggi, dan hampir tanpa camilan. Tapi dalam hitungan dekade, dunia berubah drastis. Kini, kita duduk manis, pesan makanan lewat aplikasi, dan dalam menit makanan tinggi gula, lemak, dan garam tiba. Tubuh kita belum siap menghadapi kemudahan ini. Fenomena ini disebut “ketidaksesuaian sejarah” (historical mismatch)—saat biologi purba bertabrakan dengan dunia modern.

Teknologi memanfaatkan kelemahan ini:

  • Suka manis? Hadir pemanis murah sejak bayi.

  • Susah bedakan haus dan lapar? Minuman manis jadi pilihan utama.

  • Malas gerak? Semua serba otomatis.

  • Suka ngemil? Camilan tak sehat tersedia 24 jam.

Akibatnya, penyakit gaya hidup meroket. Kini, kebijakan pangan mulai bergerak: pelabelan gizi, pajak minuman manis, pembatasan iklan, hingga sistem pangan sehat dan berkelanjutan.

Tantangannya? Tubuh kita masih hidup di masa lalu, sementara dunia sudah terlalu cepat berubah.

Dan itulah yang membuat kita berhadapan dengan generasi yang lebih muda tapi lebih tua: anak-anak dengan profil metabolik orang dewasa, dengan hati berlemak, tekanan darah tinggi, dan risiko diabetes tipe 2. Semua ini terjadi bukan karena kurang didikan, tapi karena terlalu banyak jebakan.

Maka pertanyaannya bukan lagi “kenapa anak-anak kita gemuk?” tapi “kenapa kita membiarkan mereka dijebak?”

Di negara seperti Chile, label hitam segi delapan menjadi peringatan keras di setiap kemasan makanan tinggi gula. Di Meksiko, pajak membuat minuman berpemanis turun drastis konsumsinya. Di Afrika Selatan, produsen terpaksa menurunkan kadar gula agar tetap laku dijual. Intervensi sistemik terbukti bekerja.

Sementara kita, masih terjebak dalam retorika “edukasi gizi.” Seolah-olah permasalahan utamanya adalah ketidaktahuan—bahwa para ibu di pelosok tidak tahu kalau sayur itu sehat. Padahal kenyataannya, mereka tahu. Yang mereka tidak punya adalah pilihan: karena uang belanja yang tersedia, sering kali, hanya cukup untuk membeli minuman rasa jeruk seribuan.

Indonesia tak bisa terus berharap pada perubahan individu. Kita butuh keberpihakan struktural. Kita butuh pajak berbasis kadar gula. Kita butuh pelabelan gizi yang bisa dibaca anak SD. Kita perlu kebijakan yang berpihak pada masa depan, bukan pada margin keuntungan.

Karena jika tidak, maka kita bukan hanya membiarkan anak-anak kita jatuh sakit.
Kita justru sedang membiarkan diri terlibat dalam sistem yang menguntungkan industri, sambil mengorbankan kesehatan anak-anak kita — secara diam-diam, manis, dan perlahan.

Dan satu hari nanti, anak-anak itu akan tumbuh dewasa. Mungkin mereka akan bertanya, “Kenapa dulu tak ada yang menghentikan ini?” Semoga kita punya jawaban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *