“Anak-anak tidak hanya belajar dari buku; mereka belajar dari kehidupan yang mereka sentuh.”
Di ujung barat Pulau Taliabu, tepatnya di Desa Kramat, Kecamatan Taliabu Barat, dikembangkan tempat pengasuhan percontohan yang berbeda dari kebanyakan. Bukan sekadar tempat menitipkan buah hati, taman ini dibangun dengan keyakinan yang juga didukung sains: masa kanak-kanak adalah golden age, periode emas ketika otak anak berkembang pesat dan pengalaman awal membentuk pola pikir, emosi, serta keterampilan sosialnya. Sebagaimana dijelaskan Bowlby (1988) dalam Attachment Theory, interaksi hangat, aman, dan penuh dukungan di usia dini menjadi fondasi kepribadian yang sehat seumur hidup.
Pengasuhan Berbasis Alam dan Budaya Lokal
Taman Asuh Sayang Anak (TAMASYA) Merdeka dirancang dengan menyesuaikan diri pada kondisi geografis dan budaya khas Pulau Taliabu. Di sini, anak-anak tidak hanya mengasah kemampuan akademik, tetapi juga merasakan langsung kehidupan masyarakat pesisir dan perdesaan. Mereka memberi makan ayam kampung yang dipelihara secara tradisional, lalu turut serta merasakan pengalaman unik memanen ikan di laut bersama nelayan setempat—belajar bahwa hasil bumi dan laut adalah sumber kehidupan yang menjaga keberlangsungan masyarakat Taliabu. Setelah kembali ke darat, mereka memanen telur bebek yang dibiarkan berkeliaran di halaman, sambil mengamati dengan siklus hidup tanaman pangan seperti keladi dan jagung yang menjadi penopang utama pangan lokal. Setiap kegiatan ini menjadi pelajaran berharga tentang keterhubungan manusia, alam, dan budaya yang membentuk jati diri mereka sejak usia dini.

Kegiatan ini bukan sekadar “seru-seruan”, melainkan pembelajaran berbasis pengalaman langsung yang terbukti meningkatkan kecerdasan emosional (Goleman, 2006), menumbuhkan empati, dan memperkuat rasa tanggung jawab.
Kisah Milo: Guru Kecil yang Mengajarkan Kasih Sayang
Suatu hari, kegembiraan merebak di sudut Desa Kramat ketika seekor anak sapi lahir di sebuah peternakan desa. Sorak riang dan tawa anak-anak mewarnai pagi itu. Mereka sepakat menamainya Milo, lalu bergiliran memberi susu dari botol besar sambil memanggilnya dengan julukan manis seperti “Sapi Manis” atau “Susu Lucu”. Bagi mereka, Milo bukan sekadar hewan ternak—ia adalah sahabat baru, anggota keluarga kecil di peternakan
Namun, tak lama berselang, Milo tampak lemas dan kehilangan nafsu makan. Ibu Pengasuh pun menjelaskan bahwa, sama seperti manusia, hewan juga membutuhkan perhatian, perawatan, dan lingkungan yang sehat agar tetap bugar. Saat itulah anak-anak menyadari bahwa kasih sayang sejati tidak cukup hanya dirasakan—melainkan diwujudkan dalam tindakan nyata.
Dengan semangat gotong royong—nilai yang sudah menjadi bagian dari identitas masyarakat Taliabu—mereka menyusun jadwal bergiliran untuk membersihkan kandang, memberi makan tepat waktu, dan mengajak Milo berjalan-jalan ringan di padang rumput. Hari demi hari, perhatian konsisten itu membuahkan hasil: Milo kembali lincah dan sehat.
Bagi para pendidik dan orang tua, kisah ini adalah contoh nyata penerapan pengasuhan responsif sebagaimana ditekankan dalam Nurturing Care Framework dari WHO dan UNICEF. Anak-anak belajar membaca isyarat kebutuhan makhluk lain, meresponsnya dengan tindakan tepat, dan memahami konsekuensi dari kepedulian yang berkelanjutan. Dari sini terbentuklah secure attachment (Bowlby, 1988)—hubungan aman yang tidak hanya relevan untuk relasi manusia, tetapi juga memperkuat rasa empati lintas makhluk hidup.
Pelajaran terbesar yang mereka bawa pulang bukan hanya bahwa cinta dapat menyembuhkan, tetapi bahwa cinta itu bekerja jika disertai konsistensi, kepedulian, dan rasa tanggung jawab. Nilai-nilai inilah yang kelak menjadi fondasi karakter mereka sebagai individu yang peduli, tangguh, dan berjiwa sosial.
Pesan untuk Orang Tua
Bagi para orang tua di Pulau Taliabu, dan juga di mana pun berada, kisah ini menjadi pengingat bahwa interaksi anak dengan alam dan hewan adalah bentuk pendidikan karakter yang berakar pada budaya dan lingkungan. Saat anak memahami kebutuhan makhluk lain, empati mereka tumbuh alami. Ketika mereka melihat langsung dampak dari kelalaian maupun ketelatenan dalam merawat, rasa tanggung jawab pun terasah. Dan ketika orang tua atau pengasuh turut terlibat dalam kegiatan yang bermakna bersama anak, terjalinlah ikatan emosional yang hangat dan mendalam.
Dalam kajian psikologi perkembangan, pengalaman seperti ini membentuk secure attachment (Bowlby, 1988)—sebuah hubungan aman yang menjadi pondasi bagi kesehatan mental anak sepanjang hidupnya. Di tengah arus perubahan zaman yang serba cepat, pengasuhan yang memadukan alam, kearifan lokal, dan kasih sayang seperti di Desa Kramat adalah investasi psikologis yang tidak ternilai. Anak-anak yang dibesarkan dengan cara ini tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki hati yang peka, karakter yang kokoh, dan jiwa yang siap memberi makna bagi masyarakatnya.
